Mengenai bagaimana seharusnya kita sebagai menanggapi
dan mengawasi anak berkebutuhan khusus, saya pernah mendengar kisah tentang
orang tua dengan anak yang berkebutuhan khusus dan menurut saya perlakuan orang
tuanya tersebut cukup inspiratif. Anaknya, sebut saja Budi, memiliki skor IQ 80
dan mulai menunjukkan tingkah laku di luar garis normal anak seumurannya pada
masa SD. Budi sering memukul kepala temannya tanpa tahu apa sebabnya, atau Budi
dengan mudah membanting barang miliknya sendiri ketika dia sedang marah. Banyak
juga laporan dari gurunya kalau Budi sering berbicara di kelas dan mengganggu
teman-teman lainnya. Atas permintaan sekolah, Budi dikeluarkan dari sekolah di
penghujung kelas 3 SD secara tidak hormat.
Orang tua tidak menuntut jika Budi diharuskan
keluar, mereka hanya kecewa dengan cara sekolah yang tidak menghargai Budi yang
tidak mengerti apa-apa tentang kondisinya. Lalu, orang tua Budi memindahkannya
ke sebuah sekolah dasar berbasis inklusi (untuk anak berkebutuhan khusus). Langkah
ini menjadi langkah terbaik agar Budi dapat belajar dalam pengawasan kurikulum
yang sesuai dengan kondisinya. Yang sangat saya ingat adalah kalimat ayahnya,”Kami
tidak berharap Budi menjadi anak yang pandai seperti teman-temannya yang berada
dalam program reguler. Kami hanya berharap Budi mampu meningkatkan kualitas
diri supaya dewasa kelak ia mampu menjaga dirinya secara mandiri dan mampu
menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan orang banyak.”
Perilaku Budi mulai ada perubahan di sekolah
barunya. Ia sudah bisa mengendalikan kebiasannya memukul kepala temannya.
Namun, ketidakstabilan emosi Budi-lah yang masih menjadi masalah. Selain
melalui program inklusi di sekolah, untuk mendukung perubahannya, orang tuanya
menyewa seorang terapis dalam keseharian Budi. Karena terapi perilaku akan
berhenti jika perilaku yang diubah itu hilang, maka orang tuanya tetap mejadi
pelapor aktif kepada terapis dan hasilnya cukup memuaskan. Saat Budi masuk SMP,
keuangan terpaksa membuat orang tuanya menghentikan penyewa terapis. Namun
rezeki yang tak terduga datang ketika guru sekolah Budi menawarkan diri sebagai
terapis dengan biaya yang tidak memberatkan. Sampai saat ini, orang tuanya
tetap berpikir positif dan tidak pernah malu atas ketidakmampuan Budi.
Menurut kisah ini, Budi mengalami Gangguan Perilaku dan Emosional dimana
Budi memiliki karakteristik sosioemosional yang kurang tepat. Beberapa anak
dengan gangguan emosional serius dapat dikenali dengan ciri tindakan yang
mengganggu, agresif, dan membahayakan.
Menurut pakar gangguan perilaku dan emosional,
kalaupun anak-anak seperti Budi dikembalikan ke sekolah, baik itu guru kelas
reguler atau guru khusus atau konsultan harus meluangkan waktu lebih banyak
untuk membantu mereka beradaptasi dan belajar secara efektif (Hocutt, 1996).
Namun sayangnya, masih banyak sekali sekolah yang
langsung menolak mentah-mentah anak berkebutuhan khusus, dengan alasan tidak
sanggup atau tidak memiliki fasilitas cukup. Padahal banyak anak berkebutuhan
khusus yang ingin bersekolah dengan teman-teman sebayanya yang normal.
DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John.W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Group : Jakarta
No comments:
Post a Comment