Thursday, May 3, 2012

Anak Berkebutuhan Khusus, Harus Apa?


Mengenai bagaimana seharusnya kita sebagai menanggapi dan mengawasi anak berkebutuhan khusus, saya pernah mendengar kisah tentang orang tua dengan anak yang berkebutuhan khusus dan menurut saya perlakuan orang tuanya tersebut cukup inspiratif. Anaknya, sebut saja Budi, memiliki skor IQ 80 dan mulai menunjukkan tingkah laku di luar garis normal anak seumurannya pada masa SD. Budi sering memukul kepala temannya tanpa tahu apa sebabnya, atau Budi dengan mudah membanting barang miliknya sendiri ketika dia sedang marah. Banyak juga laporan dari gurunya kalau Budi sering berbicara di kelas dan mengganggu teman-teman lainnya. Atas permintaan sekolah, Budi dikeluarkan dari sekolah di penghujung kelas 3 SD secara tidak hormat.
Orang tua tidak menuntut jika Budi diharuskan keluar, mereka hanya kecewa dengan cara sekolah yang tidak menghargai Budi yang tidak mengerti apa-apa tentang kondisinya. Lalu, orang tua Budi memindahkannya ke sebuah sekolah dasar berbasis inklusi (untuk anak berkebutuhan khusus). Langkah ini menjadi langkah terbaik agar Budi dapat belajar dalam pengawasan kurikulum yang sesuai dengan kondisinya. Yang sangat saya ingat adalah kalimat ayahnya,”Kami tidak berharap Budi menjadi anak yang pandai seperti teman-temannya yang berada dalam program reguler. Kami hanya berharap Budi mampu meningkatkan kualitas diri supaya dewasa kelak ia mampu menjaga dirinya secara mandiri dan mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan orang banyak.”
Perilaku Budi mulai ada perubahan di sekolah barunya. Ia sudah bisa mengendalikan kebiasannya memukul kepala temannya. Namun, ketidakstabilan emosi Budi-lah yang masih menjadi masalah. Selain melalui program inklusi di sekolah, untuk mendukung perubahannya, orang tuanya menyewa seorang terapis dalam keseharian Budi. Karena terapi perilaku akan berhenti jika perilaku yang diubah itu hilang, maka orang tuanya tetap mejadi pelapor aktif kepada terapis dan hasilnya cukup memuaskan. Saat Budi masuk SMP, keuangan terpaksa membuat orang tuanya menghentikan penyewa terapis. Namun rezeki yang tak terduga datang ketika guru sekolah Budi menawarkan diri sebagai terapis dengan biaya yang tidak memberatkan. Sampai saat ini, orang tuanya tetap berpikir positif dan tidak pernah malu atas ketidakmampuan Budi.

Menurut kisah ini, Budi mengalami Gangguan Perilaku dan Emosional dimana Budi memiliki karakteristik sosioemosional yang kurang tepat. Beberapa anak dengan gangguan emosional serius dapat dikenali dengan ciri tindakan yang mengganggu, agresif, dan membahayakan.
Menurut pakar gangguan perilaku dan emosional, kalaupun anak-anak seperti Budi dikembalikan ke sekolah, baik itu guru kelas reguler atau guru khusus atau konsultan harus meluangkan waktu lebih banyak untuk membantu mereka beradaptasi dan belajar secara efektif (Hocutt, 1996).

Namun sayangnya, masih banyak sekali sekolah yang langsung menolak mentah-mentah anak berkebutuhan khusus, dengan alasan tidak sanggup atau tidak memiliki fasilitas cukup. Padahal banyak anak berkebutuhan khusus yang ingin bersekolah dengan teman-teman sebayanya yang normal.

DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John.W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Group : Jakarta

No comments:

Post a Comment