Friday, March 30, 2012

Pre-School, Needed or Not?

Waktu itu, saya sedang duduk mengerjakan tulisan saya di sebuah kedai kopi eksklusif di mall dan segerombolan ibu-ibu di dekat meja saya. Mereka merendahkan ibu yang anaknya belum sekolah umur segitu. Persepsi ibu-ibu ini tentang pre-school saja sudah beragam. Ada yang menganggap pre-school sebagai tempat penitipan anak karena orang tuanya sibuk, ada juga yang menganggap itu kewajiban zaman sekarang, ada juga yg menganggap semakin cepat anak masuk sekolah semakin cepat lulus semakin baik. Jadi sebenarnya seperti apa sih ?

Sebenarnya, pre-school itu baik sih, selama praktik yang digunakan sekolah itu cocok dengan masa perkembangan anak. Seumuran mereka tugasnya bermain, kan, sambil belajar boleh lah. Tapi banyak sekolah yang sudah mengutamakan belajar dan meninggalkan bermain. Dengan bermain melalui alat, cerita, gambar, dll, anak mulai belajar secara konkret. Sayangnya, pada umumnya, pendidik pre-school­ seringkali membatasi dan mengajar anak untuk berpikir abstrak melalui kertas-pensil.
Dulu, adik saya mengikuti kelas ­pre-school pada umur 3 tahun. Bayangkan saja, di umur 3 tahun, mereka sudah diperintahkan untuk menulis huruf sambung. Bahkan menulis yang biasa saja mereka masih kesulitan, ini malah huruf sambung. Saya ingat adik saya selalu dimarahi gurunya karena tulisan sambung adik saya jelek. Bagaimana mungkin adik saya nggak nangis kalau dikasih tahunya itu langsung di depan kelas, di hadapan temannya dan tulisannya yang jelek itu dicoret besar-besar dengan tinta merah ‘Sangat Jelek!’. Selain itu, kegiatan menggambar juga menjadi perhatian saya. Pada umur segitu, mereka diharuskan mewarnai atau menggambar dengan perintah tertentu, misalnya mewarnai tidak boleh keluar garis, menggambar dengan menyambungkan garis putus-putus yang sudah ada. Di kelas, mereka juga dilarang untuk bergerak dari kursinya. Padahal, kan, memang masanya mereka untuk aktif secara fisik.

Menurut NAEYC (National Association for Education of Young Children) yang mengembangkan teori Developmentally Appropriate Practice anak-anak pada usia ini seharusnya diajarkan dengan metode yang aktif dan konkrit. NAEYC mencatat bahwa anak-anak yang mengikuti teori perkembangan memperlihatkan perilaku kelas yang lebih cocok dibanding mengikuti praktik yang tidak cocok.
Seharusnya, anak lebih diajarkan untuk melihat betapa membaca dan menulis itu bermanfaat sebelum mereka disuruh menulis huruf sambung yang dilakukan adik saya dan teman-temannya. Anak-anak juga seharusnya memiliki kesempatan untuk lebih mengekspresikan dirinya.Misalnya, daripada harus mewarnai di dalam garis dan dengan gambar yang sudah ditentukan, lebih baik mereka diberikan pensil warna dan menggambar sesuai dengan keinginan mereka. Bukankah dengan mengekspresikan apa yang mereka pikirkan juga sudah mengembangkan kognitif mereka? Lalu di masa mereka yang seharusnya memiliki peluang untuk mengembangkan otot besar mereka, malah dibatasi.
Di Denmark, pelajaran membaca ditunda hingga usia 7 tahun, buta huruf tidak ada. Sebaliknya, di Perancis, dimana membaca dimulai pada umur 4 tahun, justru 30% anak kesulitan membaca dengan alasan pada saat belajar membaca, mereka merasa ketakutan jika melakukan kesalahan dan malu dengan temannya. Padahal pendidikan seharusnya tidak membuat anak tertekan dan terbatasi.

DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John W. 1995. Life-span Development 5th Edition. University of Texas At Dallas : Brown and Benchmark

Thursday, March 22, 2012

Charles Spearman : TheTwo-Factor Theory of Intelligence


KELOMPOK 5



Charles Edward Spearman (10 September 1863 – 17 September 1945) adalah seorang psikolog Inggris yang pernah berkarir sebagai pasukan angkatan darat Inggris selama 15 tahun. Beliau mengundurkan diri dari pasukan angkatan darat dan melanjutkan studinya dalam psikologi eksperimental di Leipzig. Setelah terhambat oleh panggilan bertugas kembali oleh pasukan angkatan darat untuk perang di Afrika Selatan, akhirnya ia mendapat gelar Ph.D pada tahun 1906 dengan menerbitkan penelitian mengenai analisis factor kecerdasan pada tahun 1904.
The Two-Factors Theory yang dikembangkan oleh Charles Spearman mendasarkan teorinya pada analisis factor yang memengaruhi inteligensi. Menurut Spearman, inteligensi adalah kemampuan untuk berpikir dan menimbang.

Dasar teori ini berangkat dari analisis korelasional yang dilakukan terhadap seperangkat tes inteligensi yang mempunyai tujuan dan fungsi akhir berbeda. Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi positif di antara berbagai tes tersebut. Menurut Spearman, korelasi positif tersebut didapat karena masing-masing tes tersebut memang mengukur suatu factor umum yang sama atau general factors = Faktor ‘g’. Sedangkan factor yang spesifik dan hanya dapat diungkap oleh tes tertentu disebut special factors = Faktor ‘s’.
·         Faktor ‘g’ dimiliki oleh semua individu, berupa kemampuan umum atau kemampuan yang mendasari perilaku individu dan biasanya bersifat herediter, seperti kemampuan untuk menyelesaikan masalah, dll
·         Faktor ‘s’ dimiliki individu sebagai keahlian khusus di bidang tertentu dan biasanya diperoleh melalui proses belajar, misalnya keahlian bermain alat musik yang dipelajari dan membutuhkan latihan

Definisi inteligensi menurut Spearman mengandung dua makna kualitatif, yaitu :
·         Education of Relation, yaitu kemampuan untuk menemukan suatu hubungan dasar yang berlaku di antara dua hal. Misal, menemukan hubungan dasar yang terdapat di dalam dua kata ‘panjang – pendek’
·         Education of Correlation, kemampuan untuk menerapkan hubungan dasar yang telah ditemukan dalam proses sebelumnya ke situasi baru. Proses ini merupakan proses penalaran yang menggunakan analogi

DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. 2002. Pengantar Psikologi Inteligensi Edisi I Cetakan III. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Suardi, Dewa Ketut. 2003. Analisis Tes Psikologi. Jakarta : Rhineka Cipta

Thursday, March 15, 2012

Psikologi Pendidikan dan Media Belajar

Setiap orang, dalam hal ini siswa, memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ada di sekitarnya. Kalau ia merasa hal itu menyenangkan dan memberikan keuntungan untuknya, sudah pasti ia akan merespon hal itu lebih baik dari hal lainnya. Begitu pula dengan media belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran pada masa kini. Beragamnya media yang ada tentunya diharapkan dapat membantu proses pembelajaran dan menjadikannya menyenangkan agar siswa merespon dengan baik.

Hal ini mengingatkan saya dengan adik sepupu saya, Hilmy (5th) yang masih TK. Pernah sekali saya mengantarnya ke sekolah. Pada saat pamit pulang, Hilmy menahan saya,"Kak, jangan pulang dulu. Ikut hilmy youtube-ing aja,". Ha? Youtube-ing? Canggih benar anak TK zaman sekarang. Percaya nggak percaya, saya pun tidak jadi pulang. Ternyata benar! Setelah melakukan ritual-ritual sebelum masuk kelas, kemudian mereka duduk rapi menghadap dinding yang dijadikan layar proyektor. Tidak lama, guru pun membuka situs youtube dari laptopnya dan memutar video-video tentang pesawat. Ckckck, saya malah keenakan nonton hehe. Setelah pulang -dia pulang ke rumah saya-, dia minta tolong saya untuk menghidupkan komputer. Memang sih, sebelumnya saya sudah sering mengajarkan dia untuk mengakses internet sendiri jadi tidak perlu bawel minta tolong dicariin sesuatu yang dia inginkan. Duluuuu, saya mengajarkan dia buat cari foto di Google. Eh tidak disangka, sekarang bukan foto lagi, tapi video.

Media internet youtube, melalui video-video yang ada, sangat membantu pemahaman anak terhadap hal-hal yang baru. Dari kasus seperti itu saja, kita sudah bisa melihat canggihnya media belajar zaman sekarang. Pada dasarnya, anak kecil belajar melalui benda-benda konkret, secara mereka belum bisa berpikir abstrak. Bayangkan saja, bagaimana bisa mereka memikirkan pesawat, mobil, kapal selam, dll, jika mereka tidak melihat langsung.
Dengan menggunakan media secara tepat dan bervariasi, akan menimbulkan motivasi tersendiri bagi siswa dan memungkinkan terciptanya interaksi siswa dengan pengajar sehingga siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Seorang guru harus mempunyai strategi dalam pengajaran. Bukan hanya untuk mencapai tujuan pembelajaran atau menumbuhkan minat belajar siswa, tetapi seorang guru yang kompeten, cerdas, dan profesional, harus memiliki cara khusus di dalam kelas. Dengan itu, kehadirannya akan selalu dinantikan oleh siswa. Kalau siswa sudah rindu dengan gurunya, seberat apapun materi yang diajarkan diyakini akan diminati dan dianggap mudah. Dalam kasus ini, guru di sekolah adik sepupu saya sangat cerdik sekali menggunakan media youtube. Mungkin saja sudah tidak zamannya lagi menggunakan pesawat-pesawatan atau mobil-mobilan untuk mengenalkan pesawat. Secara, mainan anak kecil sekarang sudah lebih canggih.

Seperti kita ketahui, siswa dewasa ini tumbuh di dunia yang jauh berbeda dengan di masa ketika orang tuanya, bahkan abang kakaknya (seperti saya dengan adik sepupu saya) menjadi siswa. Jika pengajar masa kini masih saja menggunakan pola belajar sama seperti di masanya dulu belajar, tentu tidak akan efektif. Tidak akan ada pola pikir, pola belajar, ataupun pola-pola baru lainnya yang membuat anak lebih maju.
International Society for Technology in Education (2000) bekerja sama dengan US Department of Education, telah mengembangkan standar untuk siswa guna mencapai level/grade yang berbeda. Dalam hal ini, adik sepupu saya yang masih belajar tingkat TK, sesuai dengan Standard Siswa "Melek Teknologi" ternyata sudah memiliki standard sendiri, yaitu :

Pra-Taman Kanak-Kanak sampai Grade 2

  • Gunakan alat input (seperti mouse, keyboard, atau remote control) dan alat output (seperti monitor dan printer) untuk mengoperasikan komputer
  • Gunakan variasi media dan teknologi untuk mengarahkan aktivitas pembelajaran
  • Gunakan sumber daya multimedia yang pas, seperti buku interaktif, software pendidikan, dan ensiklopedia multimedia dasar untuk mendukung pembelajaran
  • Kerja sama dengan teman, anggota keluarga, dan orang lain saat menggunakan teknologi
  • Tunjukkan perilaku etis dan sosial positif saat menggunakan teknologi
Menurut saya, berdasarkan standard yang disebut di atas, Hilmy sudah mencapai standard tersebut. Dia sudah bisa menggunakan mouse dan keyboard sebagai alat input dengan sangat baik. Media ini juga membantu keluarga memiliki interaksi yang lebih unik, seperti saya yang sering menemaninya browsing, kami bisa menjadi sangat akrab walaupun kami bukan saudara kandung. Hilmy juga mengerti situs mana yang boleh dibukanya, biasanya, dia menanyakan dahulu apakah hasil searching yang diketiknya di kolom searching Google boleh dibuka atau tidak. Jadi, dia tidak sendiri, melainkan tetap diawasi.

Diharapkan dengan standard-standard yang sudah ada, orang tua, guru, bahkan siswa sendiri, bisa melihat sebatas mana kemampuan anak, anak didik, dan dirinya sendiri mampu mengoperasikan teknologi canggih yang ada sebagai media belajar.

Semoga kasus adik sepupu saya yang sangat canggih itu bisa membantu kita semua dalam melihat standard "melek teknologi" diri kita sendiri dan mampu mengaplikasikannya jika memang kita masih berada satu tahap di belakang serta mampu membantu orang-orang di sekitar kita untuk berada di tahap yang lebih baik dalam menjadikan teknologi masa kini sebagai media belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John. W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Guru Efektif?

Ya ampun! Saya kira entri ini sudah diposting minggu lalu. Ternyata hanya tersimpan di draft :( Saya post minggu ini deh :D

Benar nggak sih kalimat "Kalau sudah nggak suka dengan gurunya, pelajarannya pasti nggak masuk"? Menurut saya dan beberapa teman-teman SMA saya, itu benar. Kenapa? Saya dan teman-teman merasakan hal tersebut pada mata pelajaran fisika dan matematika. Apa yang terjadi ketika guru tersebut memulai kelas? Murid akan berdoa semoga kelas cepat selesai, atau bahkan banyak murid yang permisi ke toilet atau UKS. Apa yang salah? Bukan pelajarannya, karena saya sendiri cukup suka dengan matematika, tetapi cara mengajarnya yang membuat murid berusaha kabur.
PakB, guru fisika, nggak menyeramkan, humoris bahkan (walaupun lebih sering bercanda padahal nggak lucu). Terus apa yang salah? Beliau selalu menganggap kami semua sudah mengerti sehingga beliau menerangkan sedikit sekali selama di kelas. Pernah juga beliau menjelaskan panjang lebar, tapi tetap saja kami nggak mengerti. Ketika beliau menanyakan,"Ada yang kurang paham?", banyak sekali murid yang mengacungkan tangan berharap beliau mau turun tangan membantu kami secara langsung. Lalu apa jawabannya,"Cari sendiri ya,". Serasa baru saja melakukan hal yang sia-sia, membuat kami tidak lagi mengacungkan tangan ketika beliau menanyakan hal yang sama. Akibatnya? Nilai jelek.
BuE, guru matematika, orangnya straight sekali dalam mengajar. Beliau selalu berpihak kepada yang minoritas (minoritas adalah murid-murid yang mengerti dan nilainya bagus). Beliau hanya bertanya kepada minoritas tentang pemahaman mengenai materi yang beliau ajarkan. Jadi kalau minoritas mengerti, dia akan menganggap semua mengerti. Beliau juga selalu menjelaskan dengan sangat panjang lebar, sayangnya sepanjang lebar itupun kami tetap nggak paham. Lalu hukuman jika nilai kami jelek, dia akan memberikan tugas matematika sampai 100 soal. Membuat kami tambah malas, karena yang lalu saja belum paham sudah dijejali hukuman lagi. Yang diharapkan, kan, beliau membuat kami paham dulu satu materi lalu lanjut materi berikutnya. Lalu bagaimana setelahnya? Belum selesai 100 soal, kami sudah masuk materi baru. Konsentrasi kami pecah. Pernah kami protes karena pengajaran beliau yang ribet, membosankan, tentang hukuman, dll menyangkut caranya mengajar dengan harapan ada penyelesaian dan inovasi. Pemrotesan ini bukan bermaksud negatif, kami hanya ingin terbuka dengan beliau. Lalu apa? Beliau menangis dan keluar kelas. Lalu di kelas selanjutnya, beliau tetap mengajar dengan cara yang sama. Lalu kami melakukan protes ke kepala sekolah melalui perwakilan kelas, akhirnya beliau digantikan oleh PakD. Metode pengajaran beliau mengasyikkan menurut kami, beliau jarang menjelaskan. Beliau sering membuat kuis kecil dengan imbalan nilai tambahan. Walaupun iming-iming nilai menjadikan metode pengajaran dipandang guru lain tidak baik, namun motivasi nilai itulah yang membuat kami mau belajar dan mengerti. Kelas yang santai dan beliau yg humoris pun memudahkan kami mendapatkan kenyamanan belajar. Akibatnya, nilai ujian matematika kelas kami meningkat dengan sangat drastis tanpa dihadiri air mata dan ambekan.

Karena mengajar adalah hal yang kompleks dan karena murid itu bervariasi, maka tidak ada cara tunggal untuk mengajar efektif untuk semua hal. Guru harus menguasai beragam perspektif dan strategi. Hal ini membutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional serta komitmen dan motivasi.
Penguasaan materi, keahlian komunikasi, dan keahlian motivasional merupakan salah satu poin penting. Guru yang efektif punya strategi yang baik untuk memotivasi murid agar mau belajar. Keahlian berbicara, mendengarkan murid, mengatasi hambatan belajar yang dialami muridnya, serta mampu memecahkan konflik tersebut, juga sangat dibutuhkan oleh murid masa kini yang tidak bisa lagi hanya diam mendengarkan.
Komitmen dan motivasi membantu guru yang efektif untuk melewati masa sulit dan melelahkan dalam mengajar. Guru yang efektif juga tidak akan membiarkan emosi negatif melunturkan motivasi mereka. Emosi negatif juga seharusnya tidak dibawa saat mengajar sehingga menjadikan kelas semakin efektif. Adalah penting untuk menyadari masa ketika guru membuat perubahan dalam kehidupan murid. Semakin dihormati dan sukses seorang guru di mata murid, maka akan semakin bertambah komitmen dan motivasi seorang guru.

Hal-hal seperti itulah yang seharusnya kedua guru saya atau bahkan guru-guru di seluruh dunia tahu dan mengaplikasikannya dalam masanya bertugas. Semoga pengalaman serta sedikit analisa teori ini dapat menjadi pembelajaran bagi para guru ataupun calon-calon psikolog pendidikan masa depan :D

DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John.W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Group : Jakarta

Friday, March 9, 2012

Email & Blog Wajib Bagi Mahasiswa Psikologi Pendidikan?

KELOMPOK 1

Walaupun masih banyak sekali guru yang menggunakan metode teacher-centered, yaitu proses pembelajaran yang menjadikan guru sebagai subjek lebih aktif di kelas daripada siswa, namun rasanya sudah agak ketinggalan zaman jika kita tidak bergerak menikmati metode yang lebih maju lagi. Reformasi pendidikan dewasa ini semakin mengarahkan pengajaran berdasarkan perspektif konstruktivisme atau konsep learner-centered dimana siswa yang berperan aktif di kelas dan tidak lagi hanya duduk diam mendengarkan ceramah gurunya. Seperti di zaman modern ini yang penuh dengan gadget dan teknologi serba maju, sayang rasanya jika tidak dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar dan tetap hanya berpegang pada bantuan text book.

Lalu apa sih pandangan kelompok kami mengenai kewajiban mahasiswa yang mengambil mata kuliah Psikologi Pendidikan 3 sks tahun ajaran 2011/2012 untuk memiliki email dan blog? Pandangan kami sangat positif tentunya, walaupun ada sedikit alasan negatif yang sama sekali tidak bisa mengalahkan kepositifan penggunaan email dan blog dalam proses belajar mengajar pada mata kuliah psikologi pendidikan ini.

Selain mendapatkan pengalaman baru dengan cara belajar yang serba baru sehingga kami tidak (lagi) buta teknologi, konsep email dan blog yang paperless ini sangat memudahkan perkuliahan, yang misalnya tidak dapat dihadiri dalam kelas namun dengan kuliah online, perkuliahan tetap bisa berjalan tanpa harus duduk bersama di kelas. Selain itu, tatap muka selama kurang lebih 3 jam pasti terasa lebih membosankan. Yang sangat kami apresiasi adalah keinginan para dosen pengampuh untuk mengembangkan kreativitas kami melalui tulisan-tulisan di blog dimana tugas individu sangat memiliki andil besar dalam penilaian selama perkuliahan. Biasanya, kan, tugas hanya dinilai secara kelompok, dosen pun terkadang tidak tau siapa yang sebenarnya ikut mengerjakan atau tidak, tapi dengan tugas individu melalui posting di blog ini, penilaian terasa lebih fair. Penggunaan blog juga membantu mahasiswa mengembangkan cara berpikirnya untuk menjadi lebih analitis dan sistematis.
Seperti yang kami utarakan sebelumnya, ada juga alasan yang membuat kami awalnya agak ragu untuk menyetujui konsep email dan blog ini. Karena tidak semua mahasiswa memiliki laptop, komputer ataupun modem, agak sulit bagi mereka yang harus ke warnet lagi jika harus mengerjakan tugas-tugas yang berbau internet. Selain itu, banyak sekali akun lain yang menggoda untuk dibuka saat perkuliahan online berlangsung dan membuat konsentrasi terpecah.

Namun begitupun kami tetap pada pandangan kami yang sangat positif mengenai kepemilikan email dan blog pada mata kuliah Psikologi Pendidikan tahun ajaran 2011/2012 ini. Karena sudah sangat jelas banyak hal-hal positif yang bisa didapat selama prosesnya.

DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John.W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Group : Jakarta

Tuesday, March 6, 2012

1st

Hmm.. This is my first post in this blog. Saya seorang mahasiswi semester 2 di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Blog ini dibuat untuk mempermudah berlangsungnya mata kuliah Psikologi Pendidikan t.a. 2011/2012 yg berkonsep e-learning.
Kesan pertama apa ya?? Ribet. Kenapa? Karena saya nggak begitu mahir dan belum terbiasa dengan sistem yg diterapkan. Tapi selalu ada kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri, kan. Sejauh ini saya masih menerapkan prinsip learning by doing sih. Jadi harapan saya selama mata kuliah ini saya bisa belajar nge-blog sekaligus mendapatkan apa yg seharusnya saya dapatkan.
Ok, i think that was enough for the first. Let's hope and work for the best :) Thanks for reading, RedS!