Saturday, May 12, 2012

Resume "Blended-Learning"


Blended-Learning adalah suatu sistem pendidikan yang menggunakan campuran metode pembelajaran yang berbeda, yaitu kelas tatap muka (face-to-face) dengan computer-mediated atau secara online dan mobile. Sistem ini menciptakan pendekatan yang lebih terintegrasi bagi guru dan siswanya. Jika pada kelas konvensional yang diutamakan adalah kehadiran guru dan siswanya, pada sistem ini, teknologi adalah yang terpenting.


Contohnya adalah kelas pada hari Senin tidak dapat dilaksanakan karena guru memiliki kendala kehadiran. Jika mengacu pada konsep konvensional, tentu kelas itu akan diganti pada lain hari ataupun digandakan jamnya di kelas berikutnya. Hal itu tentu tidak efektif. Dengan sistem blended-learning, kelas itu dapat dilakukan secara online dan tentunya akan lebih efektif.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, teknologi menjadi sangat penting untuk memastikan kesempatan belajar dengan sistem ini. Teknologi yang dimaksud seperti computer, selular atau smartphones, dan video-conferencing, serta media online lainnya. Sistem yang bisa digunakan dimana saja dan kapan saja ini menyediakan kemampuan praktikal bagi guru dan siswa untuk menjadikan proses belajar lebih mandiri, teratur, dan semakin berkembang.
Walaupun disebutkan bahwa teknologi adalah yang utama, penggunaan sistem online juga disesuaikan dengan topic. Guru juga harus mengetahui topic mana yang harus dilakukan dengan tatap muka dan yang online. Contohnya, seorang guru bahasa inggris yang mengadakan proses belajar mengajar di kelas untuk topic speaking dan listening, dan mengadakan proses belajar mengajar secara online untuk topic reading and writing.
Beberapa keuntungan dari penggunaan sistem ini adalah efektivitas dan fleksibilitas dalam penjadwalan proses belajar mengajar. Sedangkan beberapa kerugian adalah biaya alat dan akses internet, pengetahuan terbatas tentang penggunaan teknologi, kemampuan belajar setiap orang yang berbeda

Sayangnya, sistem ini belum terlalu berkembang,khususnya di Indonesia. Persiapan yang dapat dilakukan guru terkait dengan sistem ini ada dua hal. Pertama, guru-guru harus dilatih untuk dapat menggunakan sarana dan teknologi yang berkaitan. Kedua, guru-guru perlu dilatih dalam online pedagogy, terkait bagaimana mengkomunikasikan suatu kontetn tanpa menggunakan isyarat kontekstual, bagaimana memotivasi siswa dalam berinteraksi dan memahami tanpa isyarat visual, dan bagaimana mengembangkan atau memodifikasi kegiatan interaktif untuk memenuhi kebutuhan siswa.

Ini Ceritaku, Apa Ceritamu?


Kalau ditanya tentang pengalaman kelas Psikologi Pendidikan 11 Mei 2012, jawabannya adalah ‘wow’. How couldn’t I say wow, ibu Dina, dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan sekaligus Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, memberikan feedback yang membuat saya, Ratri, dan Ami sumringah tak terkira membacanya. FANTASTIS!

Begini nih awal ceritanya. Pada hari itu, kami diminta untuk mendiskusikan topic Blended Learning. Kami bertatap muka dengan dosen (face to face), tetapi kami juga mendiskusikannya bersama kelompok secara online. Malam sebelumnya kami diminta untuk berlatih, tetapi disaat waktu yang telah kelompok sepakati, ternyata Ami dan Ratri ketiduran. Saya masih berusaha mencoba conference dengan teman lain, namun jaringan yang tidak mendukung mengurungkan niat saya untuk melanjutkan latihan. Sebenarnya saya sudah cukup mengerti dengan mengirim verbatim seperti yang diperintahkan dari penjelasan senior, tapi saya belum pernah mempraktikkannya langsung.
Ternyata, pada saat kelas berlangsung, Alhamdulillah, notebook kelompok kami tidak bermasalah dengan jaringan. Bermasalah sih, notebook saya pula, tapi untungnya tidak menghambat diskusi kami.
Awalnya saya iseng memulai diskusi dengan bahasa Inggris, ternyata Ami dan Ratri setuju dengan konsep itu, ya sudah, why not? Terkadang, kami juga melakukan percakapan menggunakan bahasa inggris sih, tapi karena disorotin dengan pandangan,”Ih, sok Inggris lu!”, ya nggak kami lanjutkan. Makanya, ketika diskusi ini berlangsung dengan bahasa inggris, saya khususnya sangat excited karena saya memang sangat ingin memoles lebih lanjut bahasa inggris saya. Bukan kami nggak mengalami kendala, grammar, pemilihan vocabulary, pun masih salah, tapi percaya diri aja, hihi.
Yang di awal mengira bahwa sistem blended-learning ini susah, ribet, ternyata nggak loooh J. Mudah ternyata, dan nggak ada pending kayak bbm, eh tergantung jaringan WiFi juga. Tapi intinya, nggak seribet yang saya bayangkan. Justru mungkin lebih efektif ya, karena apa yang kita diskusikan sudah terekam di history chat. jadi apapun yang sedang ada di pikiran kita, baiknya langsung didiskusikan, kalaupun lupa di ujungnya, kan ada rekamannya…

Terkait dengan pendapat saya mengenai sistem blende-learning, ini sih hanya pendapat saya ya. Sistem ini tentunya ada positif dan negatifnya, dan hal ini telah disepakati dan disetujui oleh Ratri dan Ami.
Negatif dulu deh. Rasanya, kalau masih bisa ketemu, kenapa harus online sih? Kalau model orangnya seperti saya yang susah focus kalau sedang online, bagaimana? Kan rasanya jadi sia-sia. Nah, disaat kita sudah terlalu focus, kita jadi hanya mengandalkan media online saja, tidak lagi membaca buku, dll.
Tapi tentu ada dong positifnya. Sistem ini sangat berguna kalau dosen berhalangan hadir, waktu mahasiswa tidak terbuang dan tetap dapat ilmu yang memang seharusnya didapat. Selain itu, anak berkebutuhan khusus yang mungkin malu dengan keadaan mereka sehingga mereka enggan untuk menghadiri kelas normal, akan sangat terbantu dengan sistem ini. Mereka dapat mengeluarkan ide-ide mereka selama proses belajar tanpa harus merasa malu.

Sayangnya saja ya, sistem ini belum terlalu terkenal……

Thursday, May 3, 2012

Anak Berkebutuhan Khusus, Harus Apa?


Mengenai bagaimana seharusnya kita sebagai menanggapi dan mengawasi anak berkebutuhan khusus, saya pernah mendengar kisah tentang orang tua dengan anak yang berkebutuhan khusus dan menurut saya perlakuan orang tuanya tersebut cukup inspiratif. Anaknya, sebut saja Budi, memiliki skor IQ 80 dan mulai menunjukkan tingkah laku di luar garis normal anak seumurannya pada masa SD. Budi sering memukul kepala temannya tanpa tahu apa sebabnya, atau Budi dengan mudah membanting barang miliknya sendiri ketika dia sedang marah. Banyak juga laporan dari gurunya kalau Budi sering berbicara di kelas dan mengganggu teman-teman lainnya. Atas permintaan sekolah, Budi dikeluarkan dari sekolah di penghujung kelas 3 SD secara tidak hormat.
Orang tua tidak menuntut jika Budi diharuskan keluar, mereka hanya kecewa dengan cara sekolah yang tidak menghargai Budi yang tidak mengerti apa-apa tentang kondisinya. Lalu, orang tua Budi memindahkannya ke sebuah sekolah dasar berbasis inklusi (untuk anak berkebutuhan khusus). Langkah ini menjadi langkah terbaik agar Budi dapat belajar dalam pengawasan kurikulum yang sesuai dengan kondisinya. Yang sangat saya ingat adalah kalimat ayahnya,”Kami tidak berharap Budi menjadi anak yang pandai seperti teman-temannya yang berada dalam program reguler. Kami hanya berharap Budi mampu meningkatkan kualitas diri supaya dewasa kelak ia mampu menjaga dirinya secara mandiri dan mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan orang banyak.”
Perilaku Budi mulai ada perubahan di sekolah barunya. Ia sudah bisa mengendalikan kebiasannya memukul kepala temannya. Namun, ketidakstabilan emosi Budi-lah yang masih menjadi masalah. Selain melalui program inklusi di sekolah, untuk mendukung perubahannya, orang tuanya menyewa seorang terapis dalam keseharian Budi. Karena terapi perilaku akan berhenti jika perilaku yang diubah itu hilang, maka orang tuanya tetap mejadi pelapor aktif kepada terapis dan hasilnya cukup memuaskan. Saat Budi masuk SMP, keuangan terpaksa membuat orang tuanya menghentikan penyewa terapis. Namun rezeki yang tak terduga datang ketika guru sekolah Budi menawarkan diri sebagai terapis dengan biaya yang tidak memberatkan. Sampai saat ini, orang tuanya tetap berpikir positif dan tidak pernah malu atas ketidakmampuan Budi.

Menurut kisah ini, Budi mengalami Gangguan Perilaku dan Emosional dimana Budi memiliki karakteristik sosioemosional yang kurang tepat. Beberapa anak dengan gangguan emosional serius dapat dikenali dengan ciri tindakan yang mengganggu, agresif, dan membahayakan.
Menurut pakar gangguan perilaku dan emosional, kalaupun anak-anak seperti Budi dikembalikan ke sekolah, baik itu guru kelas reguler atau guru khusus atau konsultan harus meluangkan waktu lebih banyak untuk membantu mereka beradaptasi dan belajar secara efektif (Hocutt, 1996).

Namun sayangnya, masih banyak sekali sekolah yang langsung menolak mentah-mentah anak berkebutuhan khusus, dengan alasan tidak sanggup atau tidak memiliki fasilitas cukup. Padahal banyak anak berkebutuhan khusus yang ingin bersekolah dengan teman-teman sebayanya yang normal.

DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John.W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Group : Jakarta