Waktu itu, saya
sedang duduk mengerjakan tulisan saya di sebuah kedai kopi eksklusif di mall
dan segerombolan ibu-ibu di dekat meja saya. Mereka merendahkan ibu yang
anaknya belum sekolah umur segitu. Persepsi ibu-ibu ini tentang pre-school saja sudah beragam. Ada yang menganggap pre-school sebagai tempat penitipan anak
karena orang tuanya sibuk, ada juga yang menganggap itu kewajiban zaman
sekarang, ada juga yg menganggap semakin cepat anak masuk sekolah semakin cepat
lulus semakin baik. Jadi sebenarnya seperti apa sih ?
Sebenarnya, pre-school itu baik sih, selama praktik
yang digunakan sekolah itu cocok dengan masa perkembangan anak. Seumuran mereka
tugasnya bermain, kan ,
sambil belajar boleh lah. Tapi banyak sekolah yang sudah mengutamakan belajar dan
meninggalkan bermain. Dengan bermain
melalui alat, cerita, gambar, dll, anak mulai belajar secara konkret.
Sayangnya, pada umumnya, pendidik pre-school
seringkali membatasi dan mengajar anak untuk berpikir abstrak melalui
kertas-pensil.
Dulu, adik saya
mengikuti kelas pre-school pada umur
3 tahun. Bayangkan saja, di umur 3 tahun, mereka sudah diperintahkan untuk
menulis huruf sambung. Bahkan menulis yang biasa saja mereka masih kesulitan,
ini malah huruf sambung. Saya ingat adik saya selalu dimarahi gurunya karena tulisan
sambung adik saya jelek. Bagaimana mungkin adik saya nggak nangis kalau dikasih
tahunya itu langsung di depan kelas, di hadapan temannya dan tulisannya yang
jelek itu dicoret besar-besar dengan tinta merah ‘Sangat Jelek!’. Selain itu,
kegiatan menggambar juga menjadi perhatian saya. Pada umur segitu, mereka
diharuskan mewarnai atau menggambar dengan perintah tertentu, misalnya mewarnai
tidak boleh keluar garis, menggambar dengan menyambungkan garis putus-putus
yang sudah ada. Di kelas, mereka juga dilarang untuk bergerak dari kursinya.
Padahal, kan ,
memang masanya mereka untuk aktif secara fisik.
Menurut NAEYC (National Association for Education of Young
Children) yang mengembangkan teori Developmentally
Appropriate Practice anak-anak pada usia ini seharusnya diajarkan dengan
metode yang aktif dan konkrit. NAEYC mencatat bahwa anak-anak yang mengikuti
teori perkembangan memperlihatkan perilaku kelas yang lebih cocok dibanding
mengikuti praktik yang tidak cocok.
Seharusnya, anak
lebih diajarkan untuk melihat betapa membaca dan menulis itu bermanfaat sebelum
mereka disuruh menulis huruf sambung yang dilakukan adik saya dan
teman-temannya. Anak-anak juga seharusnya memiliki kesempatan untuk lebih mengekspresikan
dirinya.Misalnya, daripada harus mewarnai di dalam garis dan dengan gambar yang
sudah ditentukan, lebih baik mereka diberikan pensil warna dan menggambar
sesuai dengan keinginan mereka. Bukankah dengan mengekspresikan apa yang mereka
pikirkan juga sudah mengembangkan kognitif mereka? Lalu di masa mereka yang
seharusnya memiliki peluang untuk mengembangkan otot besar mereka, malah
dibatasi.
Di Denmark,
pelajaran membaca ditunda hingga usia 7 tahun, buta huruf tidak ada. Sebaliknya,
di Perancis, dimana membaca dimulai pada umur 4 tahun, justru 30% anak
kesulitan membaca dengan alasan pada saat belajar membaca, mereka merasa
ketakutan jika melakukan kesalahan dan malu dengan temannya. Padahal pendidikan
seharusnya tidak membuat anak tertekan dan terbatasi.
DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John W. 1995. Life-span Development 5th Edition.
University of Texas At Dallas : Brown and Benchmark